ASAS DAN JATIDIRI MELAYU RIAU
1.nilai keterbukaan dalam kemajemukan
Budaya Melayu adalah budaya “bahari” yang
juga
disebut sebagai budaya “kelautan”. Kehidupan kelautan yang berabad-abad
mereka tempuh, menyebabkan kebudayaan ini menjadi sangat
terbuka. Beragam puak dan suku bangsa
mendatangi daerah Melayu, kemudian berbaur
dan berintegrasi turun-temurun, sehingga melahirkan masyarakat Melayu yang majemuk. Dari keberagaman suku bangsa dan puak itu serta beragam
kontak-kontak budaya dengan berbilang
bangsa, lambat-laun membentuk
kebudayaan Melayu yang majemuk pula.
Kemajmukan ini
menyebabkan masyarakat selalu terbuka kepada
semua pihak yang datang,
kemudian berbaur dan melebur dalam
alam Melayu. Melalui keterbukaan itulah orang-orang
Melayu selalu menerima siapa saja yang
datang ke daerahnya, yang mereka
sambut dengan ‘muka
yang jernih’ dan ‘hati yang lapang’, kemudian mempersilakannya untuk
hidup dan berusaha,
serta memberikan untuk menetap dan berketerununan.
Jalinan hubungan mesra inilah
yang selalu bermuara kepada ikatan
perkahwinan sehingga wujudlah kekerabatan yang
kekal. Selain itu, adat Melayu memberi peluang kepada siapa saja yang
ikhlas untuk mengikat tali persaudaraan melalui upacara adat
yang disebut “begito”, yakni mengaku bersaudara dunia akhirat.
Sejarah Riau mencatat, dari
keterbukaan itu pula wujudnya pemimpin-
pemimpin Melayu yang berasal dari luar. Misalnya, Sultan Siak sejak abad
ke-18 bercampur dengan Arab, sehingga
membentuk dinasti sultan-sultan
71
keturunan Arab sampai sultan terakhir, yakni Sultan Syarif Kasim II yang kemudian diangkat sebagai Pahlawan Nasional.
Selanjutnya, Sultan Sulaiman
Badrul Alam Syah dari kerajaan
Riau Johor mengangkat bangsawan Bugis Daeng Marewah menjadi
Yang
Dipertuan Riau I (1722 M)
di Bintan.
Keturunan beliau ini melahirkan Raja Haji Syahid Fi Sabilillah
yang juga diangkat sebagai Pahlawan
Nasional dan salah seorang keturunannya adalah Raja
Ali
Haji, pujangga Melayu yang handal,
yang menulis di antaranya “Gurimdam
Dua Belas”
dan “Kitab Tata
Bahasa
Melayu”, sehingga
kemudian bahasa
Melayu dijadikan bahasa persatuan Indonesia.
Perilaku keterbukaan ini pula
yang menyebabkan raja-raja dari kerajaan Rokan (Tambusai,
Dalu-dalu, Kepenuhan, Rambah, Rokan IV
Koto dan lain-lain)
secara ikhlas menerima
masyarakat dari Tapanuli
(Mandailing dan Batak) untuk
bermukim di wilayah kerajaannya, serta diberikan kawasan pemukiman
dan usaha turun-temurun hingga saat ini.
Perlakuan yang sama diperlakukan
terhadap pendatang dari Jawa, Minangkabau dan sebagainya, sehingga lambat-laun masyarakat Melayu Riau menjadi
semakin majmuk, namun hidup dalam kerukunan yang nyaman.
Pembauran suku yang
terjadi pada masa kerajaan Siak
Sri Indrapura,
dapat dibuktikan dari naskah kuno “Bab Al-Qawaid” (Pintu Segala
Pegangan), yakni Kitab Undang-undang
kerajaan Siak Sri Inderapura,
khususnya Bab yang kedua puluh, disebutkan:
Alif:
Ba:
Suku Tanah Datar
dari anak bumipun
ada sukunya dari
orang Minangkabau yang
mana luwak Tanah
Datar Minangkabau
yang datang ke Siak
Sri Indrapura
serta jajahan takluknya jadi suku
Tanah Datar.
Suku Lima Puluh
dari anak bumipun ada sukunya
dari orang Minangkabau pun ada, yang
mana luwak Lima Puluh
di Minangkabau yang datang
ke Siak
Sri Indrapura
serta jajahan takhluknya jadi suku Lima Puluh.
72
Ta:
Sa:
Jim:
Suku Pesisir dari
anak bumipun ada sukunya dari
orang Minangkabau yang mana luwak Agam Pesisir di Minangkabau
yang datang ke Siak
Sri Indrapura
serta jajahan takluknya jadi suku
Pesisir.
Suku Kampar dari anak bumipun ada sukunya dan mana negeri
Kampar yang tiada bekerja,
iaitu orang besar sahaja kepala
negeri itu yakni orang
lima Koto dan orang Koto
Baru yang mana datang ke
Siak Sri Indrapura serta jajahan takluknya
jadi suku Kampar.
Suku Hamba Raja Dalam dari anak bumipun ada sukunya dari
orang dagang dari
mana-mana negeri
yang ada beraja
dari negeri Kampar Kiri, negeri Kampar
Kanan, negeri Rokan Kiri, negeri Rokan Kanan, negeri Kota Intan, Negeri
Tambusai,
negeri Kepenuhan, negeri Rambah, dan dari Jawa dan Siam dan Keling
dan Batak
datang ke Siak Sri Indrapura
serta jajahan takluknya jadi suku Hamba Raja Dalam.
Dan lagi adalah yang dinamakan
Hamba Raja Dalam itu ada,
asalnya datang dari empat
suku dan ada asalnya datang
dari Hamba Raja Empat Suku dan
ada kalanya
datang dari lain suku. Maka apabila sudah terang masanya menjadi hamba Raja
Dalam juga sampai turun-temurun
jadi Hamba Raja Dalam sebelah ibunya*.
Terjadinya persebatian antara masyarakat pendatang dengan penduduk
tempatan tentu saja tidak terlepas
dari perilaku semua pihak. Yang datang tahu diri demikian pula yang tempatan. Asas hidup “di mana bumi dipijak,
di sana langit dijunjung,
di mana
air disauk,
di sana
ranting dipatah” dahulu memang ditaati oleh semua orang. Asas ini sebagai perwujudan
tahu diri menyebabkan jarak antara pendatang dengan penduduk tempatan
semakin mengecil, dan akhirnya
melebur dalam satu kesatuan yang
utuh dan kental.
73
Keterbukaan budaya Melayu selalu
dikawal dengan asas kearifan semua pihak. Petua orang tua-tua
yang mengatakan “pantang mengorang- orang di kampung orang; pantang
menghulu-hulu di kampung penghulu; pantang meraja-raja di kampung
raja” merupakan maklumat yang
ditaati. Demikian pula dengan
asas: “mengambil hak orang berunding
sesama awak; mengambil hak orang berunding
dengan orang”, mewujudkan rasa kearifan untuk saling menjaga hak masing-masing.
Terhadap masyarakat tempatan, adat mengingatkan untuk menjaga pelihara diri dan
kampung halamannya secara saksama, agar
dapat menunjukkan kepada pihak
lain tentang hak dan tanggungjawabnya.
Ungkapan adat mengatakan: “rumah dijaga dengan amanah,
kampung dijaga dengan maruah,
dusun dijaga dengan kaedah, negeri
dijaga dengan petuah”. Petuah ini dianggap
penting agar orang tidak berbuat
semena- mena dan tidak menganggap kawasan itu sebagai kawasan “tidak bertuan”.
) nilai hidup Memegang
amanah
Nilai setia memegang amanah,
kukuh menjunjung sumpah, teguh memegang janji, tekun menjalankan tugas kewajiban, patuh menjalankan
hukum dan undang, taat menjalankan agama, dan sebagainya.
Sifat ini memberi
petunjuk betapa pentingnya perilaku yang memegang
amanah, agar setiap amanah yang diterimanya, setiap tugas yang diberikan
kepadanya, setiap kepercayaan yang dipercayakan kepadanya dapat
dilaksanakan dan diwujudkan
dengan sebaik-baiknya.
Di dalam ungkapan disebutkan:
yang disebut hidup memegang amanah
taat setia kepada agama
taat setia kepada amanah
taat setia kepada sumpah
mau mati memegang janji
mau binasa memegang petuah
mau melarat memegang amanat
91
cakapnya dapat dipegang
janjinya boleh disandang
2. nilai tahu akan Bodoh Diri
Sifat menyedari segala
kekurangan dan kelemahan diri sendiri,
mengetahui cacat
dan cela diri sendiri. Sifat ini akan mendorongnya
untuk bersungguh-sungguh menutupi kekurangan
dan kelemahannya,
memperbaiki segala kekeliruan dan kesalahan, serta memacunya
untuk berusaha sehabis daya
menuntut ilmu pengetahuan, mencintai ilmu
pengetahuan serta menghormati ilmu dan kelebihan orang lain.
Orang tua-tua Melayu mengatakan:
Seburuk-buruk Melayu
ialah Melayu yang bebal bercampur
dungu
Sifat ini memberi arahan,
agar manusia pantang sekali membesar-
besarkan diri, sombong dan angkuh
atau
merasa benar sendiri, tetapi
hendaklah menimba sebanyak mungkin
ilmu pengetahuan dari mana saja
sepanjang serasi dengan ajaran
agama dan budaya yang dianuti
agar dapat hidup sejahtera
lahiriah dan batiniahnya.
Di dalam ungkapan disebutkan:
tahu akan kurang dari lebihnya
tahu akan cacat dari eloknya tahu akan bodoh dari cerdiknya
tahu akan bekal belum banyak
tahu ke atas belum berpucuk
tahu ke bawah belum berakar tahu di tengah belum berbatang
89
tahu umur belum setahun jagung
tahu darah belum setampuk pinang
tahu bercakap belum petah
tahu berunding belum masak tahu
menimba ilmu orang
tahu menyauk petuah orang
tahu duduk, duduk bangun
tahu tegak, tegak bertanya tahu merantau mencari guru
supaya diam, diam berisi
supaya bercakap, cakap bererti supaya bekerja, kerja menjadi
supaya hidup, hidup terpuji
3. nilai hidup Memegang
amanah
Nilai setia memegang amanah,
kukuh menjunjung sumpah, teguh memegang janji, tekun menjalankan tugas kewajiban, patuh menjalankan
hukum dan undang, taat menjalankan agama, dan sebagainya.
Sifat ini memberi
petunjuk betapa pentingnya perilaku yang memegang
amanah, agar setiap amanah yang diterimanya, setiap tugas yang diberikan
kepadanya, setiap kepercayaan yang dipercayakan kepadanya dapat
dilaksanakan dan diwujudkan
dengan sebaik-baiknya.
Di dalam ungkapan disebutkan:
yang disebut hidup memegang amanah
taat setia kepada agama
taat setia kepada amanah
taat setia kepada sumpah
mau mati memegang janji
mau binasa memegang petuah
mau melarat memegang amanat
91
cakapnya dapat dipegang
janjinya boleh disandang
4. nilai tahu unjuk dengan Beri, tahu hidup Bertenggangan
Nilai pemurah, dermawan, setia
membela dan membantu orang, tidak
serakah dan tamak, tidak
mementingkan diri sendiri, penuh tenggang
rasa dan kesetiakawanan, ikhlas tolong menolong
persebatian (persatuan dan kesatuan)
dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, dan sebagainya. Di dalam peribahasa adat dikatakan, “mau seaib
dan semalu,
mau senasib sepenanggungan, mau ke bukit sama
mendaki, mau ke lurah sama
menurun, mau ke laut sama basah, mau ke darat sama berkering,
mau mendapat sama berlaba, mau hilang sama merugi,” dan sebagainya.
Di dalam ungkapan disebutkan:
tahu unjuk dengan beri
tahu menjalin gelegar patah
tahu menjirat lantai terjungkat tahu menampal liang dinding
tahu menenggang hati orang
tahu menimbang perasaan orang
tahu menjaga aib malu orang
tahu menutupi kekurangan orang
hidup sedusun tuntun-menuntun
hidup sebanjar ajar-mengajar
hidup sekampung tolong-menolong
hidup sedesa rasa-merasa
hidup senegeri beri-memberi
hidup bersuku bantu-membantu
96
hidup berbangsa bertenggang rasa
yang searang sama
dibagi yang sekuku sama dibelah yang secebis sama dicebis yang secelis sama dicelis
kalau makan tidak sendiri
kalau senang tidak seorang
5. nilai Berbaik sangka
Nilai yang selalu bersangka
baik kepada orang dan berpantang
bersangka buruk.
Orang tua-tua mengatakan: “apa tanda Melayu
terbilang, bersangka
baik kepada orang, bersangka buruk
ia
berpantang”; atau dikatakan: “apabila selalu berbaik sangka,
ke mana
pergi orang
akan suka”, sebaliknya dikatakan: “apabila suka
bersangka buruk, mudanya rosak tuanya teruk”.
Di dalam ungkapan dikatakan:
adapun sifat berbaik sangka
menghujat mengeji ia tak suka bergaul dengan bermanis muka siapa
datang ia terima
siapa bercakap ia percaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar