1.
Raja Ali Haji bin Raja Haji Ahmad atau lebih dikenal
Raja Ali Haji lahir pada 1809 di Pulau Penyengat, Riau. Namun, ia sejatinya
keturunan Bugis. Kakeknya, Raja Haji, merupakan salah satu pahlawan
Melayu-Bugis ternama, yang pernah menjabat Yamtuan Muda (atau perdana menteri
ke-4) dalam Kesultanan Johor-Riau. Dia pula yang membuat Kesultanan Johor-Riau
maju pesat sehingga menjadi pusat perdagangan dan kebudayaan. Darah sastrawan
menurun dari ayahnya, Raja Ahmad, salah satu dari dua putra Raja Haji. Pangeran
Riau pertama yang pergi haji itu merupakan orang pertama yang menyusun epos
yang melukiskan sejarah orang Bugis di Melayu dan hubungannya dengan raja-raja
Melayu.
Sejak masih anak-anak, Raja Ali Haji seringkali mengikuti perjalanan ayahnya ke
berbagai daerah, untuk berdagang dan termasuk pergi haji. Berbekal pengalaman
ini, Raja Ali Haji tumbuh jadi pemuda berwawasan luas. Dalam usianya yang masih
sangat muda, ia dikenal sebagai salah satu ulama yang seringkali diminta
fatwanya oleh pihak kerajaan. Ia juga menjadi pembimbing bagi guru-guru agama
di Riau. Di usia 20 tahun, Raja Ali Haji sudah diamanahi tugas kenegaraan yang
penting. Sementara ketika usianya mencapai 32 tahun, bersama sepupunya Raja Ali
bin Raja Jafar, ia dipercaya memerintah wilayah Lingga untuk mewakili Sultan
Mahmud Muzaffar Syah yang saat itu masih sangat muda.
Ketika akhirnya, saudara sepupunya diangkat menjadi Yamtuan Muda, Raja Ali Haji
diangkat menjadi penasihat keagamaan negara. Memiliki posisi penting di
pemerintahaan Kesultanan Johor Riau tak membuat produktivitasnya dalam menulis
menjadi surut. Raja Ali Haji banyak memberikan kontribusi, khususnya di bidang
keagamaan, kesusastraan Melayu, politik, sejarah, filsafat, dan juga hukum. Ia
dikenal sebagai salah satu tokoh paling terkemuka di zamannya, baik di kalangan
agamawan maupun cendikiawan dan para sastrawan.
Di bidang sastra Melayu, karyanya yang berjudul Hikayat Abdul Muluk yang dibuat tahun 1846 dianggap sebagai karya sastrawan Riau
yang pertama kali diterbitkan. Karya-karya Raja Ali Haji dikenal dengan
kekhasannya yang selalu berakar pada syariat Islam dan juga tradisi Melayu.
Karya lainnya yang terkenal adalah buku di bidang ketatanegaraan yang berjudul
Intizam Wazaif al Malik (Peraturan Sistematis tentang Tugas-Tugas Raja). Buku yang
berisi nasihat terhadap perilaku raja dan aturan pemerintahan secara Islam ini
ia buat untuk memperingati wafatnya Yamtuan Muda Raja Ali bin Raja Jafar pada
1857.
Dua tahun kemudian, Raja Ali Haji membuat karya lainnya di bidang yang sama,
yaitu buku yang berjudul Samarat al-Muhimmah Difayah li al-Umara wa al-Kubara
wa li ahl al-Mahkamah (Pahala dari Tugas-tugas Keagamaan bagi Para Pemimpin,
Pembesar, dan para Hakim). Buku ini menjadi puncak karya Raja Ali Haji. Dalam
buku ini, secara tegas ia menyatakan bahwa seorang raja yang melalaikan
tugasnya dan mendurhakai Allah SWT, tidak dapat diterima sebagai penguasa lagi,
dan jabatannya harus diserahkan kepada orang yang lebih tepat.
Raja Ali Haji agaknya sangat mengagumi sosok Imam Ghazali. Ini sangat terlihat
dari karya-karyanya yang banyak menyebutkan buku Ihya Ulum ad-Din karya ulama
besar tersebut. Pengaruh Al Ghazali sangat terasa dalam bagaimana Raja Ali Haji
menggambarkan sosok raja yang ideal yang seharusnya bisa menahan diri dari
hal-hal yang bersifat duniawi dan lebih mementingkan mengurus umat. Selain
dipengaruhi pemikiran Al Ghazali, pemikiran politik Raja Ali Haji juga
dipengaruhi ulama seperti Ibnu Taimiyah dan Abu al-Hasan Ali bin Muhammad Habib
al-Mawardi.
Selain Samarat, karya beliau lainnya yang monumental adalah buku berjudul
Tuhfah an-Nafis (Hadiah yang Berharga) yang diterbitkan tahun 1860.
Diperkirakan karya ini sebenarnya merupakan karya Raja Ahmad yang kemudian
disunting dan sempurnakan oleh Raja Ali Haji. Buku ini berisi sejarah kesultanan
Johor Riau, sejak berdiri di Palembang hingga kemudian berdiri di Singapura.
Buku-buku beliau lainnya adalah Silsilah Melayu dan Bugis (1859) yang
mengisahkan pengalaman lima orang Bugis bersauadara yang merupakan nenek moyang
Pangeran Penyengat. Dua karya di atas merupakan warisan yang sangat berharga
bagi sejarah Sumatera, Kalimantan, dan Semenanjung Malaya. Buku ini juga
mengisahkan peristiwa-peristiwa bersejarah yang terjadi di kawasan ini selama
dua abad.
Karya Raja Ali Haji lainnya adalah buku berjudul Bustan al-Katibin li as Sibyan
al-Mutaallimin (Taman Para Penulis dan Pencari Ilmu) yang dicetak tahun 1875.
Lalu buku berjudul Kitab Pengetahuan Bahasa. Sayangnya, kedua buku ini belum
rampung karena Raja Ali Haji wafat di tahun 1870. Kedua buku ini berisi tentang
pandangan Raja Ali Haji yang menyatakan bahwa satu-satunya jalan untuk
mengatasi hawa nafsu dan permasalahan adalah dengan taat kepada hukum Allah SWT
yang digariskan dalam Alquran. Bukunya yang lain adalah Gurindam Duabelas, Siti
Sianah, Suluh Pegawai, Taman Pemrata, dan Sinar Gembala Mustika Alam.
Setiap buku-buku yang dibuatnya, khususnya yang berisi nasihat, selalu disertai
contoh-contoh kasus yang terjadi di sekelilingnya pada masa yang sama. Untuk
mengenang karya-karyanya, 20 tahun kemudian, keluarganya mendirikan perkumpulan
bernama Rusydiah Club yang bergerak di bidang pembinaan masyarakat, serta
penerbitan buku-buku Islami
Ia ditetapkan oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai pahlawan
nasional pada 5 November 2004
2. B.M Syamsuddin yang memiliki nama Asli Bujang Mat Syamsudin adalah seorang Sastrawan, yang lahir di Sedanau, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, 10 Mei 1935; umur 80 tahun. Riwayat Pendidikan Sekolah Rakyat (SR), Sekolah Guru Bantu (SGB), Sekolah Guru Atas (SGA) di Tanjungpinang dan kuliah di FKIP Jurusan Sastra dan Seni, di Pekanbaru. Karier B.M Syamsudin sendiri sebagai pengajar SD dan SMP di Tanjungpinang sempat menjadi Wartawan Harian dan Majalah di antaranya Majalah Topik (Jakarta), Harian Haluan (Padang) Harian Riau Pos (Pekanbaru), dan menjadi dosen luar biasa di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Riau, Pekanbaru. BM. Syamsudin memulai karya penulisannya dengan menulis puisi-puisi beberapa tahun kemudian baru aktif menulis pada koran dan Majalah, BM. Syamsudin juga banyak menulis tulisan yang berbentuk buku, dan kebanyakan buku-buku yang di tulisnya berbentuk buku Cerita rakyat, buku pendidikan untuk anak Sekolah Dasar serta buku yang bertema Roman Sejarah. BM Syam adalah seorang pengarang yang ulet dan berprinsip. Latar belakang pendidikan gurunya membuatnya seperti itu.
Karya-karyanya yang telah dibukukan antara lain Si Kelincing (1983), Batu Belah Batu Bertangkup (1982) Harimau Kuala (1983) Ligon (1984) Dua Beradik Tiga Sekawan (1982), Seni Lakon Mendu Tradisi Pemanggungan dan Nilai Lestari (1995), Seni Teater Tradisional Mak Yong (1982), Mendu Kesenian Rakyat Natuna (1981). Karya berbentuk Roman sejarah antara lain Jalak (1982) Tun Biajid I (1983) Tun Biajid II (1983), Braim Panglima Kasu Barat (1984), Cerita Rakyat Daerah Riau (1993), Karya berbentuk Cerpen Perempuan Sampan (1990) Toako (1991), Kembali ke Bintan (1991), Bintan Sore-sore (1991) Gadis Berpalis (1992), Pemburu Pipa,Sepanjang Pipa (1992), Nang Nora (1992), Jiro San, Tak Elok Menangis (1992).
Cerpen
fenomenalnya, ‘’Cengkeh pun Berbunga di Natuna’’, mendapat perhatian
khalayak sastra Riau ketika terbit di harian Kompas pada tahun 1991.
Cerpen ini kemudian terpilih sebagai salah satu cerpen pilihan Kompas
dan terbit dalam antologi Kado Istimewa (1992). Cerpen-cerpen penting
lainnya antara lain ‘’Perempuan Sampan’’ (1990), ‘’Toako’’ (1991),
‘’Kembali ke Bintan’’ (1991), ‘’Bintan Sore-sore’’ (1991), ‘’Gadis
Berpalis’’ (1992), ‘’Pemburu Pipa Sepanjang Pipa’’, ‘’Nang Nora’’, dan
‘’Jiro San, Tak Elok Menangis’’ (1992). Perjuangan BM Syam untuk
kehidupan teater tradisional Melayu seperti makyong, mendu, bangsawan
dan lainnya, juga dilakukan di berbagai helat kebudayaan, seperti di
Taman Ismail Mazuki (TIM) 1970-an, hingga keterlibatannya dalam
Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI) dan Asosiasi Tradisi Lisan
(ATL) Nusantara pada 1990-an. Setelah BM Syam meninggal pada Jumat, 21
Februari 1997 di Rumah Sakit (RS) Ahmad Muchtar, Bukittinggi, karena
penyakitnya, tak banyak lagi seniman yang mampu seperti dirinya. BM Syam
menunjukkan keprihatinannya bukan hanya dengan ucapan, kajian, wacana
dan pemaparan, tapi juga mengajarkan dan memberi teladan bagaimana
menghidupkan bentuk-bentuk seni warisan itu.
Meski banyak
dikritik orang karena dianggap sebagai ’perusak tradisi’ tersebab telah
menafsirkan sendiri teater tradisional, namun BM Syam tetap kukuh
dengan apa yang dilakukannya. Dia kemudian mengimbuhkan kata ‘’muda’’
pada nama-nama teater tradisional itu, misalnya bangsawan muda, mendu
muda dan sebagainya. BM Syam tak ingin wacana tradisional dan modern
diadu yang kemudian menimbulkan konflik kebudayaan. BM Syam seperti
ingin mendamaikan dua kutub yang dalam wacana kebudayaan beradu pantat
tersebut. Harus akui, BM Syam adalah seorang pejuang dan pendobrak
teater tradisi.(fed)
Ciri khas
bahasa dalam karya-karya BM Syam adalah kemampuannya menggunakan bahasa
Melayu dengan kosa kata lama yang kadang sudah jarang digunakan oleh
masyarakat. Penggambarannya tentang perkampungan Melayu yang eksotik dan
kadang ironis, memperlihatkan kepiawaiannya dalam mengarang.
Perjuangan BM Syam untuk kehidupan teater tradisional Melayu seperti Makyong, Mendu, Bangsawan
dan lainnya, juga dilakukan di berbagai iven kebudayaan, seperti di
Taman Ismail Mazuki (TIM) tahun 1970-an, hingga keterlibatannya dalam
Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI) dan Asosiasi Tradisi Lisan
(ATL) Nusantara pada tahun 1990-an. BM Syam juga kemudian mengajar
sebagai dosen di Program Studi Pendidikan Seni Drama, Tari dan Musik
(Sendratasik) FKIP UIR. Menurut Al Azhar lagi, setelah BM Syam
meninggal, tak banyak lagi seniman yang mampu seperti dirinya. “BM Syam
menunjukkan keprihatinannya bukan hanya dengan ucapan, kajian, wacana
dan pemaparan, tetapi juga mengajarkan dan memberi teladan bagaimana
menghidupkan bentuk-bentuk seni warisan itu,” ungkap pengurus harian
Yayasan Bandar Serai ini.
Meski banyak
dikritik orang karena dianggap sebagai “perusak tradisi” tersebab telah
menafsirkan sendiri teater tradisional, namun BM Syam tetap kukuh
dengan apa yang dilakukannya. Dia kemudian mengimbuhkan kata “muda” pada
nama-nama teater tradisional itu, misalnya Bangsawan muda, Mendu muda
dan sebagainya. BM Syam tidak ingin wacana “tradisional” dan “modern”
diadu yang kemudian menimbulkan konflik kebudayaan. BM Syam seperti
ingin mendamaikan dua kutub yang dalam wacana kebudayaan beradu pantat
tersebut. “Harus kita akui, BM Syam adalah seorang pejuang dan pendobrak
teater tradisi,” kata Al azhar lagi.
Pada mulanya, karya BM Syam seperti beberapa cerpen terkenalnya yang dimuat di banyak media Jakarta seperti Kompas dan Suara Karya,
yakni “Jiro San, Tak Elok Menangis”, “Nang Nora”, “Asrama Itu Telah
Tiada”, “Bianglala di Langit Natuna”, “Nang Sahara” atau “Cengkeh pun
Berbunga di Natuna”, “Bintan Sore-sore”, “Perempuan Sampan”, “Toako” dan
yang lainnya bisa menembus media Jakarta, kata Al azhar, karena
cerpen-cerpen tersebut sangat eksotik menggambarkan setting Riau dan persoalan-persoalan yang dimunculkan. “Saya mengambil kesimpulan itu karena saya yakin, mereka (media Jakarta, red) tidak memahami estetika Melayu. Yang mereka pahami adalah Melayu yang eksotik, yang terkesan tradisional dan lain sebagainya.”
.
3. Sutardji Calzoum Bachri dengan sapaan akrab Bung Tardji, lahir di
Rengat, Indragiri Hulu, pada tanggal 24 Juni 1941. Sutardji C. Bachri
merupakan putra dari pasangan Mohammad Bachri yang berasal dari Prembun,
Kutoarjo, Jawa Tengah dan May Calzum yang berasal dari Tanbelan, Riau.
Beliau terlahir sebagai anak kelima dari sebelas bersaudara. Sutardji
Calzoum Bachri adalah pujangga Indonesia terkemuka. Ia di beri gelar
sebagai “Presiden Penyair Indonesia”. Bung Tardji memiliki seorang istri
yang bernama Mariham Linda pada tahun 1982 dan dikaruniai seorang anak
perempuan bernama Mila Seraiwangi.
Bung Tardji dikenal sebagai sastrawan pelopor puisi kontemporer.
“Dalam Puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang
membelenggunya seperti kamus dan penjajahan seperti moral kata yang
dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor serta
penjajahan gramatika. Bila kata dibebaskan, kreativitas pun
dimungkinkan. Karena kata-kata menciptakan dirinya sendiri, bermain
dengan dirinya sendiri, dan menentukan kemauan dirinya sendiri.
Pendadakan kreatif bisa timbul, karena kata yang biasanya dianggap
berfungsi sebagai penyalur pengertian tiba-tiba karena kebebasannya bisa
menyungsang terhadap fungsinya. Maka timbullah hal-hal yang tidak
terduga sebelumnya, yang kreatif.” Itulah yang diungkapkan Sutardji
Calzoum Bahri pada dalam kredo puisinya yang terkenal pada tanggal 30
Maret 1973.
Kekontemporeran karya Sutardji Calzoum Bachri semakin
dipertegas dengan perkataanya selanjutnya, yaitu, “dalam Puisi saya,
kata-kata, saya biarkan bebas dalam gairahnya karena telah menemukan
kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari-nari diatas kertas,
mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mundar-mandir dan berkali-kali
menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama,
membelah dirinya dengan bebas, menyatukan dirinya sendiri dengan yang
lain untuk memperkuat dirinya, membalik dan menyungsangkan dirinya
sendiri dengan bebas, saling bertentangan satu sama lainnya karena
mereka bebas berbuat semaunya atau bila perlu membunuh dirinya sendiri
untuk menunjukkan dirinya menolak dan berontak terhadap pengertian yang
dibebankan kepadanya.”
Pada tahun 1947 beliau masuk ke sekolah rakyat (SD) dan selesai
pada tahun 1953 di Bengkalis – Pekanbaru. Kemudian ia melanjutkan
sekolahnya di Sekolah Menengah Pertama Negeri di Tanjungpinang, Riau.
Sutardji Calzoum Bachri mengecap pendidikan tertingginya hingga tingkat
doktoral di Fakultas Sosial Politik Jurusan Administrasi Negara,
Universitas Padjadjaran, Bandung.
Selain mengikuti pendidikan formal, Sutardji juga turut serta
dalam pendidikan nonformal seperti; peserta Poetry Reading
International di Rotterdam pada tahun 1974., kemudian
mengikutiInternational Writing Program pada tahun 1975 di IOWA City
Amerika Serikat selama satu tahun (Okober 1974 – April 1975) bersama
Kiai Haji Mustofa Bisri dan Taufiq Ismail. Empat tahun kemudian (1979)
Sutardji Calzoum Bahri diangkat sebagai redaktur majalah sastra Horizon,
namun setelah beberapa tahun kemudian, ia memutuskan untuk keluar dari
Horizon. Kemudian pada tahun 2000-2002 Sutardji Calzoum Bachri menjadi
penjaga ruangan seni “Bentara”, khususnya menangani puisi pada harian
Kompas. Beliau juga pernah mengikuti penataran P4 di Taman Ismail
Marzuki, Jakarta tahun 1984, dan lulus sebagai peringkat pertama dari 10
orang terbaik.
Awal mula masuknya Sutardji Calzoum Bachri ketika ia mulai
menulis dalam surat kabar dan mingguan di Bandung, kemudian
sajak-sajaknya dimuat dalam majalah Horison dan Budaya Jaya serta ruang
kebudayaan Sinar Harapan dan Berita Buana. Selain itu, Bung Tardji mulai
mengirimkan sajak-sajaknya ke koran lokal seperti Pikiran Rakyat di
Bandung, dan Haluan di Padang. Sejak saat itulah Sutardji Calzoum Bachri
mulai diperhitungkan sebagai penyair di Indonesia.
Dalam mempertunjukkan karyanya kepada pecinta sastra, beliau tidak
ragu untuk menunjukkan totalitasnya di atas panggung. Ia juga berusaha
ditiap penampilannya untuk tidak hilang kontak dengan penonton.
”Kehadiran sajak itu harus akrab dengan penonton, tak berjarak dengan
kehidupan,” begitulah kata Bung Tardji mengenai keakrabannya dengan
penonton dalam mempertunjukkan rasa kedekatannya. Ia juga tidak segan
memeragakan puisinya hingga berguling-guling di atas panggung. Gayanya
yang jumpalitan di atas panggung, bahkan berpuisi sambil tiduran dan
tengkurap, seperti telah menempel menjadi trade mark Sutardji. ”Aku tak
pernah main-main sewaktu membikin sajak, aku serius. Tapi, ketika tampil
aku berusaha apa adanya, santai namun memiliki arti,” katanya.
Karya Sastra Sutardji Calzoum Bachri:
Beberapa karya Puisi Sutardji Calzoum Bachri:
1. O (Kumpulan Puisi, 1973),
2. Amuk (Kumpulan Puisi, 1977), dan
3. Kapak (Kumpulan Puisi, 1979).
Kumpulan puisnya, Amuk, pada tahun 1976/1977 mendapat Hadiah
Puisi Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Kemudian pada tahun 1981 ketiga buku
kumpulan pusinya itu digabungkan dengan judul O, Amuk, Kapak yang
diterbitkan oleh Sinar Harapan.
Selain itu, puisi-puisinya juga dimuat dalam berbagai antologi, antara lain:
1. Arjuna in Meditation (Calcutta, India, 1976),
2. Writing from The Word (USA),
3. Westerly Review (Australia),
4. Dchters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststechting, 1975),
5. Ik Wil Nogdulzendjaar Leven, Negh Moderne Indonesische Dichter (1979),
6. Laut Biru, Langit Biru (Jakarta: Pustaka Jaya, 1977),
7. Parade Puisi Indonesia (1990),
8. Majalah Tenggara,
9. Journal of Southeast Asean Lietrature 36 dan 37 (1997), dan
10.Horison Sastra Indonesia: Kitab Puisi (2002).
Sutardji selain menulis puisi juga menulis esai dan cerpen.
Kumpulan cerpennya yang sudah dipublikasikan adalah Hujan Menulis Ayam
(Magelang, Indonesia Tera:2001). Sementara itu, esainya berjudul Gerak
Esai dan Ombak Sajak Anno 2001 dan Hujan Kelon dan Puisi 2002 mengantar
kumpulan puisi “Bentara”. Sutardji juga menulis kajian sastra untuk
keperluan seminar. Sekarang sedang dipersiapkan kumpulan esai lengkap
dengan judul “Memo Sutardji”
Penghargaan:
Penghargaan yang pernah diraihnya adalah:
Hadiah Sastra Asean (SEA Write Award) dari Kerajaan Thailand (1979);
Menerima penghargaan Sastra Kabupaten Kepulauan Riau oleh Bupati Kepulauan Riau (1979);
Anugrah Seni Pemerintah Republik Indonesia (1993);
Menerima Anugrah Sastra Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia Jakarta. (1990an);
Penghargaan Sastra Chairil Anwar (1998), dan
Dianugrahi gelar Sastrawan Perdana oleh Pemerintah Daerah Riau (2001).
Salah satu karya Sutardji Calzoum Bachri
O
Oleh: Sutardji Calzoum Bachri
dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukangiau
resahku resahkau resahrisau resahbalau resahkalian
raguku ragukau raguguru ragutahu ragukalian
mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maugapai
siasiaku siasiakau siasia siabalau siarisau siakalian siasia
waswasku waswaskau waswaskalian waswaswaswaswaswaswaswaswaswas
duhaiku duhaikau duhairindu duhaingilu duhaikalian duhaisangsai
oku okau okosong orindu okalian obolong o risau o Kau O…
4.
Soeman Hasibuan (EYD:
Suman Hasibuan), yang lebih dikenal
dengan nama pena-nya Soeman Hs, adalah seorang pengarang Indonesia yang
diakui karena mempelopori penulisan cerita pendek dan fiksi detektif
dalam sastra negara tersebut.
Suman Hasibuan (
Suman Hs) lahir di Bengkalis pada tahun 1904,
dari keluarga petani. Beliau mengenyam sekolah Melayu di Bengkalis tahun
1912-1918. Kemudian bersekolah di Sekolah Normal di Medan dan Langsa
hingga tamat tahun 1923.
Soeman belajar untuk menjadi guru dan, di bawah bimbingan pengarang
Mohammad Kasim, seorang penulis. Ia mulai bekerja sebagai guru bahasa
Melayu setelah menyelesaikan sekolah normal pada 1923, mula-mula di Siak
Sri Indrapura, Aceh, kemudian di Pasir Pengaraian, Rokan Hulu, Riau.
Pada waktu itu, ia mulai menulis, menerbitkan novel pertamanya,
Kasih Tak Terlarai,
pada 1929. Selama dua belas tahun, ia menerbitkan lima novel, satu
kumpulan cerita pendek, dan tiga puluh lima cerita pendek dan puisi.
Pada masa pendudukan Jepang di Hindia Belanda (1942–1945) dan kemudian
revolusi, Soeman—meskipun ia tetap seorang guru—menjadi aktif dalam
politik, mula-mula menjabat pada dewan perwakilan dan kemudian sebagai
bagian dari Komite Nasional Indonesia untuk Pasir Pengaraian di
Pekanbaru. Setelah pengakuan Belanda terhadap kemerdekaan Indonesia pada
1949, Soeman menjadi kepala departemen pendidikan regional, bekerja
untuk membangun kembali infrastruktur yang rusak dan mendirikan
sekolah-sekolah baru, termasuk SMA pertama di Riau dan Universitas Islam
Riau. Ia masih aktif dalam pendidikan sampai kematiannya.
Sebagai seorang pengarang, Soeman menulis cerita-cerita yang bertemakan
suspens dan humor, menggambarkan fiksi detektif dan petualangan Barat
serta sastra Melayu klasik. Karya tulis berbahasa Melayu buatannya,
dengan pengucapan yang sangat dipengaruhi oleh latar belakang Sumatra
timur-nya, mudah dibaca dan terhindar dari hal yang bertele-tele secara
berlebihan. Karya paling populer Soeman adalah novel
Mentjahari Pentjoeri Anak Per4w4n (1932), sementara kumpulan cerita pendek
Kawan Bergeloet
(1941) dianggap karyanya yang paling terkenal dari sudut pandang
sastra. Meskipun dianggap pengarang kecil dari periode Poedjangga Baroe,
Soeman telah mendapat pengakuan dengan adanya sebuah perpustakaan yang
menggunakan namanya dan buku-buku buatannya diajarkan di
sekolah-sekolah.
Suman Hs. meningga; dunia di Pekanbaru, Riau, pada 8 Mei 1999.
Profil dan Biodata Soeman Hasibuan
- Lahir: 1904, Bengkalis, Riau
- Meninggal: 8 Mei 1999, Pekanbaru, Riau
- Kebangsaan: Indonesia
- Suku: Mandailing
- Dikenal karena: Promosi pendidikan, penulisan
- Karya terkenal: Mentjahari Pentjoeri Anak Per4w4n, Kawan Bergeloet
- Agama: Islam
Pendidikan
- Sekolah Melayu di Bengkalis tahun 1912-1918
- Sekolah Normal di Medan dan Langsa, tamat tahun 1923.
Pekerjaan dan karier
- Guru bahasa Indonesia di HIS Siak Sri Indrapura dari tahun 1923 sampai tahun 1930.
- Kepala sekolah Bumi Melayu di Pasir Pengaraian pada tahun 1930
- Pada masa penjajahan Jepang, ia menjadi pemilik sekolah, anggota
Sagikai Giin (DPR model Jepang), anggota komite nasional Indonesia di
Rokan Kanan/kiri. Turut aktif bergerilya dan sempat menjadi komandan
Pangkalan Gerilya Rokan serta anggota Staf Gubernur Militer Riau.
- Saat menjadi kepala Jawatan dinas P & K Pekanbaru, ia juga tercatat sebagai pemilik sekolah.
- Anggota badan pemerintahan tingkat I Riau, tahun 1960 hingga 1966.
- Anggota DPR provinsi Riau, tahun 1966 sampai 1968.
- Ketua umum Yayasan Lembaga Pendidikan Riau.
Karya-karyanya:
- “Kasih tak terlerai” (novel, Balai Pustaka 1929)
- “Percobaan Setia” (novel, Balai Pustaka, 1931)
- “Mencari Pencuri Anak Per4wa4n” (novel, Balai Pustaka 1932)
- “Kawan Bergelut” (kumpulan cerpen, Balai Pustaka 1938)
5. Idrus Tintin melalui masa kecilnya di zaman pergolakan di saat para
pemuda masih memperjuangkan kemerdekaan. Namun dalam situasi yang serba
sulit itu, Idrus seakan menemukan dunianya sendiri. Pria kelahiran
Rengat, Kepulauan Riau, 10 November 1932 ini tenggelam dalam kegiatannya
di bidang seni, teater hingga sastra.
Idrus dibesarkan dalam lingkungan keluarga berdarah asli Melayu Riau.
Ayahnya, Tintin, berasal dari Lubuk Ambacang, Indragiri, sekarang
termasuk wilayah Kabupaten Kuantan Singingi, Riau. Sementara ibunya,
Tiamah, berasal dari Penyimahan dan menetap di Enok Dalam, Melayu Timur,
Indragiri, sekarang termasuk wilayah Indragiri Hilir, Riau.
Ayah Idrus yang berprofesi sebagai nakhoda awalnya bekerja di Jawatan
Pelayaran Indonesia, baru kemudian dipindahtugaskan ke Laut Cina
Selatan, Tarempa, Kepulauan Riau menakhodai Kapal Patroli Pemerintah.
Dengan berbagai pertimbangan, Tintin memboyong keluarganya untuk menetap
di Tarempa. Pada 14 Desember 1941, pasukan Jepang membombardir wilayah
Tarempa.
Dalam peristiwa tersebut sekitar 300 orang masyarakat sipil menjadi
korban, termasuk ayahanda Idrus yang kemudian meninggal dunia pada tahun
1942. Setelah kepergian ayahnya, Idrus bersama ibu dan ketiga
saudaranya pindah ke Rengat.
Di sana ia meneruskan pendidikannya yang sempat terbengkalai akibat
perang. Setamatnya dari Sekolah Rakyat, anak ketiga dari empat
bersaudara ini melanjutkan pendidikannya di Chugakko, namun tidak
selesai. Sekitar tahun 1941, ia dititipkan oleh ibunya di asrama
penampungan yatim piatu Dai Toa Kodomo Ryo milik Pemerintah Jepang.
Semenjak tinggal di asrama inilah, Idrus mulai mengenal dunia drama.
Idrus kemudian memulai debutnya sebagai pemain Lihat Daftar Tokoh Teater
teater setelah direkrut grup drama pimpinan Raja Khatijah. Bersama
seorang rekannya yang bernama Hasan Basri, Idrus berperan dalam satu
pertunjukan drama bahasa Jepang.
Karena kefasihannya berbahasa Jepang, Idrus diterima bekerja di Sentral
Telepon Pendudukan Jepang. Kemudian di tahun 1943, ia dipindahkan ke
asrama Kubota dan bekerja di Biro Okabutai di Tanjung Pinang selama 5
bulan.
Di tengah kesibukannya bekerja, Idrus masih meluangkan waktunya untuk
menggeluti dunia teater. Hal itu dibuktikan dengan keterlibatannya dalam
pertunjukan drama pendek yang mengisahkan kehidupan petani dan nelayan
yang hidup melarat berjudul Noserang.
Di penghujung tahun 1944, Idrus Tintin hijrah ke Tembilahan untuk
melanjutkan pendidikannya di Sekolah Muhammadiyah, yang lagi-lagi tak
berhasil diselesaikannya. Setahun berikutnya, Idrus kembali ke Rengat
untuk meneruskan pendidikan SMP, sambil melanjutkan hobinya bermain
teater.
Idrus beberapa kali tampil dalam pementasan bersama grup Seniman Muda
Indonesia (SEMI) asuhan Agus, Moeis dan Hasbullah. Meski sibuk
berkesenian, Idrus tetap memperhatikan pendidikannya. Selain di sekolah
formal, ia juga mengikuti kursus di sore hari untuk program ekstranei
hingga lulus.
Terakhir, pria yang akrab disapa Derus oleh keluarga dan kawan-kawannya
ini menempuh pendidikan di SMA Sore Tanjung Pinang. Saat masih berumur
16 tahun, tepatnya di bulan Februari 1949, Idrus bergabung menjadi
anggota TNI. Setahun kemudian, ia mulai bertugas sebagai Staf Q Brigade
DD Angkatan Darat di Tanjung Pinang.
Namun profesi itu tak lama digelutinya karena kecintaan Idrus pada dunia
seni khususnya teater nampaknya sulit dilepaskan begitu saja. Pada
1952, Idrus mendirikan sebuah sanggar sandiwara bernama Gurinda di
Tarempa.
Dua tahun berikutnya, ia mengawali karirnya sebagai pegawai negeri mulai
dari juru tulis hingga berhasil meraih posisi sebagai Kepala Kantor
Sosial Kewedanan Pulau Tujuh. Sayang, baru tiga tahun berdinas, Idrus
mulai merasakan kesulitan membagi waktu antara aktivitasnya di dunia
seni dengan pekerjaannya sebagai pegawai negeri
Karya-karya
Sebagai sosok seniman dan budayawan, Idrus Tintin telah banyak
melahirkan karya, antara lain berupa sajak dan puisi yang terangkum
dalam berbagai buku yaitu:
1. Luput, adalah kumpulan sajak Idrus Tintin, berisi 26 sajak, dituliskan kembali oleh Armawi KH (tahun 1986).
2. Burung Waktu, adalah kumpulan puisi Idrus Tintin, berisi 37 judul puisi, diterbitkan oleh Gramitra Pekanbaru (tahun 1990).
3. Idrus Tintin Seniman dari Riau; Kumpulan Puisi dan Telaah, adalah
kumpulan tiga judul puisi Idrus Tintin yaitu: Luput, Burung Waktu, dan
Nyanyian di Lautan, Tarian di Tengah Hutan (tahun 1996).
4. Jelajah Cakrawala; Seratus Lima Belas Sajak Idrus Tintin, adalah kumpulan puisi Idrus Tintin (tahun 2003).
Selain karya-karya tersebut di atas, Idrus Tintin juga memiliki
karya-karya lain berupa naskah teater dan pernah dipentaskan, yaitu:
1. Naskah cerita berjudul “Buih dan Kasih Sayang Orang Lain”
2. Naskah cerita berjudul “Bunga Rumah Makan”
3. Naskah cerita berjudul “Awal dan Mira”
4. Naskah cerita berjudul “Pasien”
Kesemuanya ditulis dan telah dipentaskan dalam sebuah pementasan di Tanjung Pinang.