Minggu, 23 September 2018

Bahasa Melayu Berkias


Bahasa Melayu Berkias
Orang Melayu menggunakan ungkapan-ungkapan khas dalam bahasa Melayu setempat, seperti petatah-petitih petitih, peribahasa dan lainnya.  Penggunaan bahasa berkias ini didasarkan cara pandang khas orang Melayu terhadap bahasa dan penggunaan lambang-lambang sosial bahasa. Pada bagian ini akan dibahas pandangan orang Melayu terhadap bahasa dan lambang sosial budaya.
1.            Pandangan terhadap bahasa
Orang Melayu Riau cenderung berfifkir metaforik dalam kehidupan sosial dalam arti mengatakan sesuatu secara tidak langsung menyebutkan sasaran. Hal ini berhubungan sikap santun, Pemalu dan ragam emosi yang suka menghindar dari pertikaian. Jika dikatakan secara langsung maka dikhawatirkan akan menyinggung perasaan orang. Sesuatu yang kasar hanya layak untuk hewan sesuai dengan peribahasa “ kerbau tahan palu, manusia tahan kias”. Hal ini menyebabkan bahasa Melayu kaya dengan ungkapan-ungkapan khas. Ada yang disebut dengan pepatah, yaitu ungkapan yang digunakan untuk mematahkan ungkapan lawan bicara, ada peribahasa yaitu bahasa yang dihaluskan, adalagi ibarat yakni perumpamaan dan bidal.
Ungkapan-ungkapan khas itu sangat sering digunakan oleh orang-orang Melayu untuk meningkatkan dan tunjuk ajar. Ungkapan-ungkapan khas tersebut antara lain  :
1.       Pepatah, adalah peribahasa yang mengandung nasihat atau ajaran. Dalam pengertian lain pepatah adalah kiasan yang tetap dan dinyatakan dalam kalimat selesai. Orang Melayu yang mampu mengungkapkan pepatah-petitih adalah orang yang kenyang asam garam kehidupan. Karenanya orang yang sering menggunakan pepatah-petitih ini adalah orang yang patut-patut seperti, pemuka adat, alim ulama, batin, dan kaum cendekiawan.

Hancur badan dikandung tanah,
Budi baik dikenang jua
Maknanya jangan melupakan budi baik seseorang

2.       Peribahasa, adalah kalimat lengkap yang menggunakan keadaan atau kelakuan seseorang dengan mengambil perbandingan dengan alam sekitar.selain pepatah orang Melayu juga menggunakan kalimat tidak dengan arti sebenarnya, seperti peribahasa dan sering menggunakan perbandingan dengan alam sekitarnya. Tujuan menggunakan peribahasa adalah lawan bicara tidak tersinggung oleh ucapan kita, disamping itu juga kesantunan dalam berbicara dengan orang lain.
Contoh peribahasa  :

Sekepal menjadi gunung, setitik menjadi laut
Maknanya  adalah perkara kecil yang dibesar-besarkan atau sesuatu yang sedikit yang bisa dibesarkan

3.       Pantun, adalah puisi lama yang terikat oleh syarat-syarat tertentu ( jumlah baris, jumlah suku kata, persajakan dan isi ), pantun dibagi  menjadi  :
a.       Berdasarkan isi
1.       Pantun anak-anak
2.       Pantun percintaan
3.       Pantun nasihat
4.       Pantun agama
5.       Pantun teka-teki
6.       Pantun Jenaka

b.      Ciri-ciri pantun
1.       Terdiri dari sejumlah baris yang selalu genap yang merupakan satu kesatuan yang disebut bait.
2.       Setiap baris terdiri dari empat kata yang dibentuk dari 8-12 suku kata (umumnya sepuluh kata)
3.       Separo bait pertama sampiran, separo berikutnya isi
4.       Persajakan antara sampiran dan isi selalu paralel ( aib-ab atau abu-abc atau And-abcd atau as-aa)
5.       Beralun dua

Contoh :
Pantun Nasehat  :

Kayu cendala di atas batu
Sudah diikat dibawa pulang              
Adat dunia memang begitu
Benda yang buruk memang terbuang

Pantun Jenaka

Burung terbang memakai topi
Terbang keawan seperti mimpi
Tertawa hati karena geli
Melihat kuda asyik bernyanyi

Pantun Muda Mudi

Gigi taring seperti macan
Tajam menggigit sakit sekali
Pergi ke taman untuk kencan
Kencan bareng lelaki berdasi

Selasa, 18 September 2018

SASTRAWAN RIAU

1. Raja Ali Haji bin Raja Haji Ahmad  atau lebih dikenal Raja Ali Haji lahir pada 1809 di Pulau Penyengat, Riau. Namun, ia sejatinya keturunan Bugis. Kakeknya, Raja Haji, merupakan salah satu pahlawan Melayu-Bugis ternama, yang pernah menjabat Yamtuan Muda (atau perdana menteri ke-4) dalam Kesultanan Johor-Riau. Dia pula yang membuat Kesultanan Johor-Riau maju pesat sehingga menjadi pusat perdagangan dan kebudayaan. Darah sastrawan menurun dari ayahnya, Raja Ahmad, salah satu dari dua putra Raja Haji. Pangeran Riau pertama yang pergi haji itu merupakan orang pertama yang menyusun epos yang melukiskan sejarah orang Bugis di Melayu dan hubungannya dengan raja-raja Melayu.

Sejak masih anak-anak, Raja Ali Haji seringkali mengikuti perjalanan ayahnya ke berbagai daerah, untuk berdagang dan termasuk pergi haji. Berbekal pengalaman ini, Raja Ali Haji tumbuh jadi pemuda berwawasan luas. Dalam usianya yang masih sangat muda, ia dikenal sebagai salah satu ulama yang seringkali diminta fatwanya oleh pihak kerajaan. Ia juga menjadi pembimbing bagi guru-guru agama di Riau. Di usia 20 tahun, Raja Ali Haji sudah diamanahi tugas kenegaraan yang penting. Sementara ketika usianya mencapai 32 tahun, bersama sepupunya Raja Ali bin Raja Jafar, ia dipercaya memerintah wilayah Lingga untuk mewakili Sultan Mahmud Muzaffar Syah yang saat itu masih sangat muda.

Ketika akhirnya, saudara sepupunya diangkat menjadi Yamtuan Muda, Raja Ali Haji diangkat menjadi penasihat keagamaan negara. Memiliki posisi penting di pemerintahaan Kesultanan Johor Riau tak membuat produktivitasnya dalam menulis menjadi surut. Raja Ali Haji banyak memberikan kontribusi, khususnya di bidang keagamaan, kesusastraan Melayu, politik, sejarah, filsafat, dan juga hukum. Ia dikenal sebagai salah satu tokoh paling terkemuka di zamannya, baik di kalangan agamawan maupun cendikiawan dan para sastrawan.

Di bidang sastra Melayu, karyanya yang berjudul Hikayat Abdul Muluk
yang dibuat tahun 1846 dianggap sebagai karya sastrawan Riau yang pertama kali diterbitkan. Karya-karya Raja Ali Haji dikenal dengan kekhasannya yang selalu berakar pada syariat Islam dan juga tradisi Melayu. Karya lainnya yang terkenal adalah buku di bidang ketatanegaraan yang berjudul Intizam Wazaif al Malik (Peraturan Sistematis tentang Tugas-Tugas Raja). Buku yang berisi nasihat terhadap perilaku raja dan aturan pemerintahan secara Islam ini ia buat untuk memperingati wafatnya Yamtuan Muda Raja Ali bin Raja Jafar pada 1857.

Dua tahun kemudian, Raja Ali Haji membuat karya lainnya di bidang yang sama, yaitu buku yang berjudul Samarat al-Muhimmah Difayah li al-Umara wa al-Kubara wa li ahl al-Mahkamah (Pahala dari Tugas-tugas Keagamaan bagi Para Pemimpin, Pembesar, dan para Hakim). Buku ini menjadi puncak karya Raja Ali Haji. Dalam buku ini, secara tegas ia menyatakan bahwa seorang raja yang melalaikan tugasnya dan mendurhakai Allah SWT, tidak dapat diterima sebagai penguasa lagi, dan jabatannya harus diserahkan kepada orang yang lebih tepat.

Raja Ali Haji agaknya sangat mengagumi sosok Imam Ghazali. Ini sangat terlihat dari karya-karyanya yang banyak menyebutkan buku Ihya Ulum ad-Din karya ulama besar tersebut. Pengaruh Al Ghazali sangat terasa dalam bagaimana Raja Ali Haji menggambarkan sosok raja yang ideal yang seharusnya bisa menahan diri dari hal-hal yang bersifat duniawi dan lebih mementingkan mengurus umat. Selain dipengaruhi pemikiran Al Ghazali, pemikiran politik Raja Ali Haji juga dipengaruhi ulama seperti Ibnu Taimiyah dan Abu al-Hasan Ali bin Muhammad Habib al-Mawardi.

Selain Samarat, karya beliau lainnya yang monumental adalah buku berjudul Tuhfah an-Nafis (Hadiah yang Berharga) yang diterbitkan tahun 1860. Diperkirakan karya ini sebenarnya merupakan karya Raja Ahmad yang kemudian disunting dan sempurnakan oleh Raja Ali Haji. Buku ini berisi sejarah kesultanan Johor Riau, sejak berdiri di Palembang hingga kemudian berdiri di Singapura. Buku-buku beliau lainnya adalah Silsilah Melayu dan Bugis (1859) yang mengisahkan pengalaman lima orang Bugis bersauadara yang merupakan nenek moyang Pangeran Penyengat. Dua karya di atas merupakan warisan yang sangat berharga bagi sejarah Sumatera, Kalimantan, dan Semenanjung Malaya. Buku ini juga mengisahkan peristiwa-peristiwa bersejarah yang terjadi di kawasan ini selama dua abad.

Karya Raja Ali Haji lainnya adalah buku berjudul Bustan al-Katibin li as Sibyan al-Mutaallimin (Taman Para Penulis dan Pencari Ilmu) yang dicetak tahun 1875. Lalu buku berjudul Kitab Pengetahuan Bahasa. Sayangnya, kedua buku ini belum rampung karena Raja Ali Haji wafat di tahun 1870. Kedua buku ini berisi tentang pandangan Raja Ali Haji yang menyatakan bahwa satu-satunya jalan untuk mengatasi hawa nafsu dan permasalahan adalah dengan taat kepada hukum Allah SWT yang digariskan dalam Alquran. Bukunya yang lain adalah Gurindam Duabelas, Siti Sianah, Suluh Pegawai, Taman Pemrata, dan Sinar Gembala Mustika Alam.

Setiap buku-buku yang dibuatnya, khususnya yang berisi nasihat, selalu disertai contoh-contoh kasus yang terjadi di sekelilingnya pada masa yang sama. Untuk mengenang karya-karyanya, 20 tahun kemudian, keluarganya mendirikan perkumpulan bernama Rusydiah Club yang bergerak di bidang pembinaan masyarakat, serta penerbitan buku-buku Islami
Ia ditetapkan oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai pahlawan nasional pada 5 November 2004
 
2. B.M Syamsuddin yang memiliki nama Asli Bujang Mat Syamsudin adalah seorang Sastrawan, yang lahir di Sedanau, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, 10 Mei 1935; umur 80 tahun. Riwayat Pendidikan Sekolah Rakyat (SR), Sekolah Guru Bantu (SGB), Sekolah Guru Atas (SGA) di Tanjungpinang dan kuliah di FKIP Jurusan Sastra dan Seni, di Pekanbaru. Karier B.M Syamsudin sendiri sebagai pengajar SD dan SMP di Tanjungpinang sempat menjadi Wartawan Harian dan Majalah di antaranya Majalah Topik (Jakarta), Harian Haluan (Padang) Harian Riau Pos (Pekanbaru), dan menjadi dosen luar biasa di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Riau, Pekanbaru. BM. Syamsudin memulai karya penulisannya dengan menulis puisi-puisi beberapa tahun kemudian baru aktif menulis pada koran dan Majalah, BM. Syamsudin juga banyak menulis tulisan yang berbentuk buku, dan kebanyakan buku-buku yang di tulisnya berbentuk buku Cerita rakyat, buku pendidikan untuk anak Sekolah Dasar serta buku yang bertema Roman Sejarah. BM Syam adalah seorang pengarang yang ulet dan berprinsip. Latar belakang pendidikan gurunya membuatnya seperti itu.
Karya-karyanya yang telah dibukukan antara lain Si Kelincing (1983), Batu Belah Batu Bertangkup (1982) Harimau Kuala (1983) Ligon (1984) Dua Beradik Tiga Sekawan (1982), Seni Lakon Mendu Tradisi Pemanggungan dan Nilai Lestari (1995), Seni Teater Tradisional Mak Yong (1982), Mendu Kesenian Rakyat Natuna (1981). Karya berbentuk Roman sejarah antara lain Jalak (1982) Tun Biajid I (1983) Tun Biajid II (1983), Braim Panglima Kasu Barat (1984), Cerita Rakyat Daerah Riau (1993), Karya berbentuk Cerpen Perempuan Sampan (1990) Toako (1991), Kembali ke Bintan (1991), Bintan Sore-sore (1991) Gadis Berpalis (1992), Pemburu Pipa,Sepanjang Pipa (1992), Nang Nora (1992), Jiro San, Tak Elok Menangis (1992).
Cerpen fenomenalnya, ‘’Cengkeh pun Berbunga di Natuna’’, mendapat perhatian khalayak sastra Riau ketika terbit di harian Kompas pada tahun 1991. Cerpen ini kemudian terpilih sebagai salah satu cerpen pilihan Kompas dan terbit dalam antologi Kado Istimewa (1992). Cerpen-cerpen penting lainnya antara lain ‘’Perempuan Sampan’’ (1990), ‘’Toako’’ (1991), ‘’Kembali ke Bintan’’ (1991), ‘’Bintan Sore-sore’’ (1991), ‘’Gadis Berpalis’’ (1992), ‘’Pemburu Pipa Sepanjang Pipa’’, ‘’Nang Nora’’, dan ‘’Jiro San, Tak Elok Menangis’’ (1992). Perjuangan BM Syam untuk kehidupan teater tradisional Melayu seperti makyong, mendu, bangsawan dan lainnya, juga dilakukan di berbagai helat kebudayaan, seperti di Taman Ismail Mazuki (TIM) 1970-an, hingga keterlibatannya dalam Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI) dan Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Nusantara pada 1990-an. Setelah BM Syam meninggal pada Jumat, 21 Februari 1997 di Rumah Sakit (RS) Ahmad Muchtar, Bukittinggi, karena penyakitnya, tak banyak lagi seniman yang mampu seperti dirinya. BM Syam menunjukkan keprihatinannya bukan hanya dengan ucapan, kajian, wacana dan pemaparan, tapi juga mengajarkan dan memberi teladan bagaimana menghidupkan bentuk-bentuk seni warisan itu.
Meski banyak dikritik orang karena dianggap sebagai ’perusak tradisi’ tersebab telah menafsirkan sendiri teater tradisional, namun BM Syam tetap kukuh dengan apa yang dilakukannya. Dia kemudian mengimbuhkan kata ‘’muda’’ pada nama-nama teater tradisional itu, misalnya bangsawan muda, mendu muda dan sebagainya. BM Syam tak ingin wacana tradisional dan modern diadu yang kemudian menimbulkan konflik kebudayaan. BM Syam seperti ingin mendamaikan dua kutub yang dalam wacana kebudayaan beradu pantat tersebut. Harus akui, BM Syam adalah seorang pejuang dan pendobrak teater tradisi.(fed)
Ciri khas bahasa dalam karya-karya BM Syam adalah kemampuannya menggunakan bahasa Melayu dengan kosa kata lama yang kadang sudah jarang digunakan oleh masyarakat. Penggambarannya tentang perkampungan Melayu yang eksotik dan kadang ironis, memperlihatkan kepiawaiannya dalam mengarang.
Perjuangan BM Syam untuk kehidupan teater tradisional Melayu seperti Makyong, Mendu, Bangsawan dan lainnya, juga dilakukan di berbagai iven kebudayaan, seperti di Taman Ismail Mazuki (TIM) tahun 1970-an, hingga keterlibatannya dalam Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI) dan Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Nusantara pada tahun 1990-an. BM Syam juga kemudian mengajar sebagai dosen di Program Studi Pendidikan Seni Drama, Tari dan Musik (Sendratasik) FKIP UIR. Menurut Al Azhar lagi, setelah BM Syam meninggal, tak banyak lagi seniman yang mampu seperti dirinya. “BM Syam menunjukkan keprihatinannya bukan hanya dengan ucapan, kajian, wacana dan pemaparan, tetapi juga mengajarkan dan memberi teladan bagaimana menghidupkan bentuk-bentuk seni warisan itu,” ungkap pengurus harian Yayasan Bandar Serai ini.
Meski banyak dikritik orang karena dianggap sebagai “perusak tradisi” tersebab telah menafsirkan sendiri teater tradisional, namun BM Syam tetap kukuh dengan apa yang dilakukannya. Dia kemudian mengimbuhkan kata “muda” pada nama-nama teater tradisional itu, misalnya Bangsawan muda, Mendu muda dan sebagainya. BM Syam tidak ingin wacana “tradisional” dan “modern” diadu yang kemudian menimbulkan konflik kebudayaan. BM Syam seperti ingin mendamaikan dua kutub yang dalam wacana kebudayaan beradu pantat tersebut. “Harus kita akui, BM Syam adalah seorang pejuang dan pendobrak teater tradisi,” kata Al azhar lagi.
Pada mulanya, karya BM Syam seperti beberapa cerpen terkenalnya yang dimuat di banyak media Jakarta seperti Kompas dan Suara Karya, yakni “Jiro San, Tak Elok Menangis”, “Nang Nora”, “Asrama Itu Telah Tiada”, “Bianglala di Langit Natuna”, “Nang Sahara” atau “Cengkeh pun Berbunga di Natuna”, “Bintan Sore-sore”, “Perempuan Sampan”, “Toako” dan yang lainnya bisa menembus media Jakarta, kata Al azhar, karena cerpen-cerpen tersebut sangat eksotik menggambarkan setting Riau dan persoalan-persoalan yang dimunculkan. “Saya mengambil kesimpulan itu karena saya yakin, mereka (media Jakarta, red) tidak memahami estetika Melayu. Yang mereka pahami adalah Melayu yang eksotik, yang terkesan tradisional dan lain sebagainya.”
.
3.  Sutardji Calzoum Bachri dengan sapaan akrab Bung Tardji, lahir di Rengat, Indragiri Hulu, pada tanggal 24 Juni 1941. Sutardji C. Bachri merupakan putra dari pasangan Mohammad Bachri yang berasal dari Prembun, Kutoarjo, Jawa Tengah dan May Calzum yang berasal dari Tanbelan, Riau. Beliau terlahir sebagai anak kelima dari sebelas bersaudara. Sutardji Calzoum Bachri adalah pujangga Indonesia terkemuka. Ia di beri gelar sebagai “Presiden Penyair Indonesia”. Bung Tardji memiliki seorang istri yang bernama Mariham Linda pada tahun 1982 dan dikaruniai seorang anak perempuan bernama Mila Seraiwangi.
Bung Tardji dikenal sebagai sastrawan pelopor puisi kontemporer. “Dalam Puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor serta penjajahan gramatika. Bila kata dibebaskan, kreativitas pun dimungkinkan. Karena kata-kata menciptakan dirinya sendiri, bermain dengan dirinya sendiri, dan menentukan kemauan dirinya sendiri. Pendadakan kreatif bisa timbul, karena kata yang biasanya dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian tiba-tiba karena kebebasannya bisa menyungsang terhadap fungsinya. Maka timbullah hal-hal yang tidak terduga sebelumnya, yang kreatif.” Itulah yang diungkapkan Sutardji Calzoum Bahri pada dalam kredo puisinya yang terkenal pada tanggal 30 Maret 1973.
Kekontemporeran karya Sutardji Calzoum Bachri semakin dipertegas dengan perkataanya selanjutnya, yaitu, “dalam Puisi saya, kata-kata, saya biarkan bebas dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari-nari diatas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mundar-mandir dan berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, membelah dirinya dengan bebas, menyatukan dirinya sendiri dengan yang lain untuk memperkuat dirinya, membalik dan menyungsangkan dirinya sendiri dengan bebas, saling bertentangan satu sama lainnya karena mereka bebas berbuat semaunya atau bila perlu membunuh dirinya sendiri untuk menunjukkan dirinya menolak dan berontak terhadap pengertian yang dibebankan kepadanya.”
Pada tahun 1947 beliau masuk ke sekolah rakyat (SD) dan selesai pada tahun 1953 di Bengkalis – Pekanbaru. Kemudian ia melanjutkan sekolahnya di Sekolah Menengah Pertama Negeri di Tanjungpinang, Riau. Sutardji Calzoum Bachri mengecap pendidikan tertingginya hingga tingkat doktoral di Fakultas Sosial Politik Jurusan Administrasi Negara, Universitas Padjadjaran, Bandung.
Selain mengikuti pendidikan formal, Sutardji juga turut serta dalam pendidikan nonformal seperti; peserta Poetry Reading International di Rotterdam pada tahun 1974., kemudian mengikutiInternational Writing Program pada tahun 1975 di IOWA City Amerika Serikat selama satu tahun (Okober 1974 – April 1975) bersama Kiai Haji Mustofa Bisri dan Taufiq Ismail. Empat tahun kemudian (1979) Sutardji Calzoum Bahri diangkat sebagai redaktur majalah sastra Horizon, namun setelah beberapa tahun kemudian, ia memutuskan untuk keluar dari Horizon. Kemudian pada tahun 2000-2002 Sutardji Calzoum Bachri menjadi penjaga ruangan seni “Bentara”, khususnya menangani puisi pada harian Kompas. Beliau juga pernah mengikuti penataran P4 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta tahun 1984, dan lulus sebagai peringkat pertama dari 10 orang terbaik.
Awal mula masuknya Sutardji Calzoum Bachri ketika ia mulai menulis dalam surat kabar dan mingguan di Bandung, kemudian sajak-sajaknya dimuat dalam majalah Horison dan Budaya Jaya serta ruang kebudayaan Sinar Harapan dan Berita Buana. Selain itu, Bung Tardji mulai mengirimkan sajak-sajaknya ke koran lokal seperti Pikiran Rakyat di Bandung, dan Haluan di Padang. Sejak saat itulah Sutardji Calzoum Bachri mulai diperhitungkan sebagai penyair di Indonesia.
Dalam mempertunjukkan karyanya kepada pecinta sastra, beliau tidak ragu untuk menunjukkan totalitasnya di atas panggung. Ia juga berusaha ditiap penampilannya untuk tidak hilang kontak dengan penonton. ”Kehadiran sajak itu harus akrab dengan penonton, tak berjarak dengan kehidupan,” begitulah kata Bung Tardji mengenai keakrabannya dengan penonton dalam mempertunjukkan rasa kedekatannya. Ia juga tidak segan memeragakan puisinya hingga berguling-guling di atas panggung. Gayanya yang jumpalitan di atas panggung, bahkan berpuisi sambil tiduran dan tengkurap, seperti telah menempel menjadi trade mark Sutardji. ”Aku tak pernah main-main sewaktu membikin sajak, aku serius. Tapi, ketika tampil aku berusaha apa adanya, santai namun memiliki arti,” katanya.
Karya Sastra Sutardji Calzoum Bachri:
Beberapa karya Puisi Sutardji Calzoum Bachri:
1. O (Kumpulan Puisi, 1973),
2. Amuk (Kumpulan Puisi, 1977), dan
3. Kapak (Kumpulan Puisi, 1979).
Kumpulan puisnya, Amuk, pada tahun 1976/1977 mendapat Hadiah Puisi Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Kemudian pada tahun 1981 ketiga buku kumpulan pusinya itu digabungkan dengan judul O, Amuk, Kapak yang diterbitkan oleh Sinar Harapan.
Selain itu, puisi-puisinya juga dimuat dalam berbagai antologi, antara lain:
1. Arjuna in Meditation (Calcutta, India, 1976),
2. Writing from The Word (USA),
3. Westerly Review (Australia),
4. Dchters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststechting, 1975),
5. Ik Wil Nogdulzendjaar Leven, Negh Moderne Indonesische Dichter (1979),
6. Laut Biru, Langit Biru (Jakarta: Pustaka Jaya, 1977),
7. Parade Puisi Indonesia (1990),
8. Majalah Tenggara,
9. Journal of Southeast Asean Lietrature 36 dan 37 (1997), dan
10.Horison Sastra Indonesia: Kitab Puisi (2002).
Sutardji selain menulis puisi juga menulis esai dan cerpen. Kumpulan cerpennya yang sudah dipublikasikan adalah Hujan Menulis Ayam (Magelang, Indonesia Tera:2001). Sementara itu, esainya berjudul Gerak Esai dan Ombak Sajak Anno 2001 dan Hujan Kelon dan Puisi 2002 mengantar kumpulan puisi “Bentara”. Sutardji juga menulis kajian sastra untuk keperluan seminar. Sekarang sedang dipersiapkan kumpulan esai lengkap dengan judul “Memo Sutardji”
Penghargaan:
Penghargaan yang pernah diraihnya adalah:
Hadiah Sastra Asean (SEA Write Award) dari Kerajaan Thailand (1979);
Menerima penghargaan Sastra Kabupaten Kepulauan Riau oleh Bupati Kepulauan Riau (1979);
Anugrah Seni Pemerintah Republik Indonesia (1993);
Menerima Anugrah Sastra Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia Jakarta. (1990an);
Penghargaan Sastra Chairil Anwar (1998), dan
Dianugrahi gelar Sastrawan Perdana oleh Pemerintah Daerah Riau (2001).
Salah satu karya Sutardji Calzoum Bachri
O
Oleh: Sutardji Calzoum Bachri
dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukangiau
resahku resahkau resahrisau resahbalau resahkalian
raguku ragukau raguguru ragutahu ragukalian
mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maugapai
siasiaku siasiakau siasia siabalau siarisau siakalian siasia
waswasku waswaskau waswaskalian waswaswaswaswaswaswaswaswaswas
duhaiku duhaikau duhairindu duhaingilu duhaikalian duhaisangsai
oku okau okosong orindu okalian obolong o risau o Kau O…


4.   Soeman Hasibuan (EYD: Suman Hasibuan), yang lebih dikenal dengan nama pena-nya Soeman Hs, adalah seorang pengarang Indonesia yang diakui karena mempelopori penulisan cerita pendek dan fiksi detektif dalam sastra negara tersebut.

Suman Hasibuan (Suman Hs) lahir di Bengkalis pada tahun 1904, dari keluarga petani. Beliau mengenyam sekolah Melayu di Bengkalis tahun 1912-1918. Kemudian bersekolah di Sekolah Normal di Medan dan Langsa hingga tamat tahun 1923.

Soeman belajar untuk menjadi guru dan, di bawah bimbingan pengarang Mohammad Kasim, seorang penulis. Ia mulai bekerja sebagai guru bahasa Melayu setelah menyelesaikan sekolah normal pada 1923, mula-mula di Siak Sri Indrapura, Aceh, kemudian di Pasir Pengaraian, Rokan Hulu, Riau. Pada waktu itu, ia mulai menulis, menerbitkan novel pertamanya, Kasih Tak Terlarai, pada 1929. Selama dua belas tahun, ia menerbitkan lima novel, satu kumpulan cerita pendek, dan tiga puluh lima cerita pendek dan puisi.

Pada masa pendudukan Jepang di Hindia Belanda (1942–1945) dan kemudian revolusi, Soeman—meskipun ia tetap seorang guru—menjadi aktif dalam politik, mula-mula menjabat pada dewan perwakilan dan kemudian sebagai bagian dari Komite Nasional Indonesia untuk Pasir Pengaraian di Pekanbaru. Setelah pengakuan Belanda terhadap kemerdekaan Indonesia pada 1949, Soeman menjadi kepala departemen pendidikan regional, bekerja untuk membangun kembali infrastruktur yang rusak dan mendirikan sekolah-sekolah baru, termasuk SMA pertama di Riau dan Universitas Islam Riau. Ia masih aktif dalam pendidikan sampai kematiannya.

Sebagai seorang pengarang, Soeman menulis cerita-cerita yang bertemakan suspens dan humor, menggambarkan fiksi detektif dan petualangan Barat serta sastra Melayu klasik. Karya tulis berbahasa Melayu buatannya, dengan pengucapan yang sangat dipengaruhi oleh latar belakang Sumatra timur-nya, mudah dibaca dan terhindar dari hal yang bertele-tele secara berlebihan. Karya paling populer Soeman adalah novel Mentjahari Pentjoeri Anak Per4w4n (1932), sementara kumpulan cerita pendek Kawan Bergeloet (1941) dianggap karyanya yang paling terkenal dari sudut pandang sastra. Meskipun dianggap pengarang kecil dari periode Poedjangga Baroe, Soeman telah mendapat pengakuan dengan adanya sebuah perpustakaan yang menggunakan namanya dan buku-buku buatannya diajarkan di sekolah-sekolah.

Suman Hs. meningga; dunia di Pekanbaru, Riau, pada 8 Mei 1999.


Profil dan Biodata Soeman Hasibuan

  • Lahir: 1904, Bengkalis, Riau
  • Meninggal: 8 Mei 1999, Pekanbaru, Riau
  • Kebangsaan: Indonesia
  • Suku: Mandailing
  • Dikenal karena: Promosi pendidikan, penulisan
  • Karya terkenal: Mentjahari Pentjoeri Anak Per4w4n, Kawan Bergeloet
  • Agama: Islam

Pendidikan
  • Sekolah Melayu di Bengkalis tahun 1912-1918
  • Sekolah Normal di Medan dan Langsa, tamat tahun 1923.

Pekerjaan dan karier
  • Guru bahasa Indonesia di HIS Siak Sri Indrapura dari tahun 1923 sampai tahun 1930. 
  • Kepala sekolah Bumi Melayu di Pasir Pengaraian pada tahun 1930
  • Pada masa penjajahan Jepang, ia menjadi pemilik sekolah, anggota Sagikai Giin (DPR model Jepang), anggota komite nasional Indonesia di Rokan Kanan/kiri. Turut aktif bergerilya dan sempat menjadi komandan Pangkalan Gerilya Rokan serta anggota Staf Gubernur Militer Riau. 
  • Saat menjadi kepala Jawatan dinas P & K Pekanbaru, ia juga tercatat sebagai pemilik sekolah. 
  • Anggota badan pemerintahan tingkat I Riau, tahun 1960 hingga 1966. 
  • Anggota DPR provinsi Riau, tahun 1966 sampai 1968.
  • Ketua umum Yayasan Lembaga Pendidikan Riau.

Karya-karyanya:
  • Kasih tak terlerai” (novel, Balai Pustaka 1929)
  • Percobaan Setia” (novel, Balai Pustaka, 1931)
  • Mencari Pencuri Anak Per4wa4n” (novel, Balai Pustaka 1932)
  • Kawan Bergelut” (kumpulan cerpen, Balai Pustaka 1938)
 
5.   Idrus Tintin melalui masa kecilnya di zaman pergolakan di saat para pemuda masih memperjuangkan kemerdekaan. Namun dalam situasi yang serba sulit itu, Idrus seakan menemukan dunianya sendiri. Pria kelahiran Rengat, Kepulauan Riau, 10 November 1932 ini tenggelam dalam kegiatannya di bidang seni, teater hingga sastra.

Idrus dibesarkan dalam lingkungan keluarga berdarah asli Melayu Riau. Ayahnya, Tintin, berasal dari Lubuk Ambacang, Indragiri, sekarang termasuk wilayah Kabupaten Kuantan Singingi, Riau. Sementara ibunya, Tiamah, berasal dari Penyimahan dan menetap di Enok Dalam, Melayu Timur, Indragiri, sekarang termasuk wilayah Indragiri Hilir, Riau.

Ayah Idrus yang berprofesi sebagai nakhoda awalnya bekerja di Jawatan Pelayaran Indonesia, baru kemudian dipindahtugaskan ke Laut Cina Selatan, Tarempa, Kepulauan Riau menakhodai Kapal Patroli Pemerintah. Dengan berbagai pertimbangan, Tintin memboyong keluarganya untuk menetap di Tarempa. Pada 14 Desember 1941, pasukan Jepang membombardir wilayah Tarempa.

Dalam peristiwa tersebut sekitar 300 orang masyarakat sipil menjadi korban, termasuk ayahanda Idrus yang kemudian meninggal dunia pada tahun 1942. Setelah kepergian ayahnya, Idrus bersama ibu dan ketiga saudaranya pindah ke Rengat.

Di sana ia meneruskan pendidikannya yang sempat terbengkalai akibat perang. Setamatnya dari Sekolah Rakyat, anak ketiga dari empat bersaudara ini melanjutkan pendidikannya di Chugakko, namun tidak selesai. Sekitar tahun 1941, ia dititipkan oleh ibunya di asrama penampungan yatim piatu Dai Toa Kodomo Ryo milik Pemerintah Jepang.

Semenjak tinggal di asrama inilah, Idrus mulai mengenal dunia drama. Idrus kemudian memulai debutnya sebagai pemain Lihat Daftar Tokoh Teater
teater setelah direkrut grup drama pimpinan Raja Khatijah. Bersama seorang rekannya yang bernama Hasan Basri, Idrus berperan dalam satu pertunjukan drama bahasa Jepang.

Karena kefasihannya berbahasa Jepang, Idrus diterima bekerja di Sentral Telepon Pendudukan Jepang. Kemudian di tahun 1943, ia dipindahkan ke asrama Kubota dan bekerja di Biro Okabutai di Tanjung Pinang selama 5 bulan.

Di tengah kesibukannya bekerja, Idrus masih meluangkan waktunya untuk menggeluti dunia teater. Hal itu dibuktikan dengan keterlibatannya dalam pertunjukan drama pendek yang mengisahkan kehidupan petani dan nelayan yang hidup melarat berjudul Noserang.

Di penghujung tahun 1944, Idrus Tintin hijrah ke Tembilahan untuk melanjutkan pendidikannya di Sekolah Muhammadiyah, yang lagi-lagi tak berhasil diselesaikannya. Setahun berikutnya, Idrus kembali ke Rengat untuk meneruskan pendidikan SMP, sambil melanjutkan hobinya bermain teater.

Idrus beberapa kali tampil dalam pementasan bersama grup Seniman Muda Indonesia (SEMI) asuhan Agus, Moeis dan Hasbullah. Meski sibuk berkesenian, Idrus tetap memperhatikan pendidikannya. Selain di sekolah formal, ia juga mengikuti kursus di sore hari untuk program ekstranei hingga lulus.

Terakhir, pria yang akrab disapa Derus oleh keluarga dan kawan-kawannya ini menempuh pendidikan di SMA Sore Tanjung Pinang. Saat masih berumur 16 tahun, tepatnya di bulan Februari 1949, Idrus bergabung menjadi anggota TNI. Setahun kemudian, ia mulai bertugas sebagai Staf Q Brigade DD Angkatan Darat di Tanjung Pinang.

Namun profesi itu tak lama digelutinya karena kecintaan Idrus pada dunia seni khususnya teater nampaknya sulit dilepaskan begitu saja. Pada 1952, Idrus mendirikan sebuah sanggar sandiwara bernama Gurinda di Tarempa.

Dua tahun berikutnya, ia mengawali karirnya sebagai pegawai negeri mulai dari juru tulis hingga berhasil meraih posisi sebagai Kepala Kantor Sosial Kewedanan Pulau Tujuh. Sayang, baru tiga tahun berdinas, Idrus mulai merasakan kesulitan membagi waktu antara aktivitasnya di dunia seni dengan pekerjaannya sebagai pegawai negeri 
 

Karya-karya

Sebagai sosok seniman dan budayawan, Idrus Tintin telah banyak melahirkan karya, antara lain berupa sajak dan puisi yang terangkum dalam berbagai buku yaitu:
1. Luput, adalah kumpulan sajak Idrus Tintin, berisi 26 sajak, dituliskan kembali oleh Armawi KH (tahun 1986).
2. Burung Waktu, adalah kumpulan puisi Idrus Tintin, berisi 37 judul puisi, diterbitkan oleh Gramitra Pekanbaru (tahun 1990).
3. Idrus Tintin Seniman dari Riau; Kumpulan Puisi dan Telaah, adalah kumpulan tiga judul puisi Idrus Tintin yaitu: Luput, Burung Waktu, dan Nyanyian di Lautan, Tarian di Tengah Hutan (tahun 1996).
4. Jelajah Cakrawala; Seratus Lima Belas Sajak Idrus Tintin, adalah kumpulan puisi Idrus Tintin (tahun 2003).

Selain karya-karya tersebut di atas, Idrus Tintin juga memiliki karya-karya lain berupa naskah teater dan pernah dipentaskan, yaitu:
1. Naskah cerita berjudul “Buih dan Kasih Sayang Orang Lain”
2. Naskah cerita berjudul “Bunga Rumah Makan”
3. Naskah cerita berjudul “Awal dan Mira”
4. Naskah cerita berjudul “Pasien”
Kesemuanya ditulis dan telah dipentaskan dalam sebuah pementasan di Tanjung Pinang.
 

Ulangan Harian BMR Kelas XII IPA 4

Ulangan Harian BMR Kelas XII IPA 4, Kerjakan Disini

Selasa, 11 September 2018

Kisah Hikmah

Abu Umamah r.a. berkata : "Rasulullah S.A.W telah menganjurkan supaya kami semua mempelajari Al-Qur'an, setelah itu Rasulullah S.A.W memberitahu tentang kelebihan Al-Qur'an."

Telah bersabda Rasulullah S.A.W : Belajarlah kamu akan Al-Qur'an, di akhirat nanti dia akan datang kepada ahli-ahlinya, yang mana di kala itu orang sangat memerlukannya."

Ia akan datang dalam bentuk seindah-indahnya dan ia bertanya, " Kenalkah kamu kepadaku?" Maka orang yang pernah membaca akan menjawab : "Siapakah kamu?"
Maka berkata Al-Qur'an : "Akulah yang kamu cintai dan kamu sanjung, dan juga telah bangun malam untukku dan kamu juga pernah membacaku di waktu siang hari."
Kemudian berkata orang yang pernah membaca Al-Qur'an itu : "Adakah kamu Al-Qur'an?" Lalu Al-Qur'an mengakui dan menuntun orang yang pernah membaca mengadap Allah S.W.T. Lalu orang itu diberi kerajaan di tangan kanan dan kekal di tangan kirinya, kemudian dia meletakkan mahkota di atas kepalanya.

Pada kedua ayahnya dan ibunya pula yang muslim diberi perhiasan yang tidak dapat ditukar dengan dunia walau berlipat ganda, sehingga keduanya bertanya : "Dari manakah kami memperolehi ini semua, pada hal amal kami tidak sampai ini?" Lalu dijawab : "Kamu diberi ini semua kerana anak kamu telah mempelajari Al-Qur'an."

Karya sastra Melayu Riau

Karya Sastra Melayu Riau

Karya sastra melayu Riau banyak tercipta pada klasik. Sastra melayu klasik adalah sastra lama yang lahir pada masyarakat lama atau tradisional, yakni suatu masyarakat yang masih sederhana dan terikat oleh adat istisadat. sifat sastra melayu klasik antara lain : komunal (milik bersama), anonim (umumnya tidak diketahui pengarangnya), kurang dinamis (perubahan sangat lamban jika dilihat dari sudut pandang masyarakat sekarang), kurang rasional (kejadian-kejadian yang digambarkan tidak masuk akal) istina sentris ( istri ceritanya berkisar pada kehidupan keluarga lingkungan istana), didaktis (memberikan pendidikan kepada pembaca baik secara moral maupun religius), simbolis ( cerita yang disajikan dalam bentuk lambang), klasik imitatif (kebiasaan tiru meniru yang turun menurun), universal ( dapat berlaku dimana saja, kapan saja, siapa saja)

Unsur-unsur intrinsik dalam sastra klasik melayu memiliki unsur-unsur intrinsik yaitu, tema, alur, latar, penokohan/perwatakan dan amanat. karakteristik atau ciri-ciri khusus sastra klasik melayu dimulai dengan menceritakan asal muasal tokoh utama. Tokoh utama hidup di tengah-tengan rakyat atau merakyat. diceritaka secara lisan dari mulut ke mulut. tidak diketahui tahun awalnya muncul cerita tersebut. tidak diketahui siapa pengarangnya, umumnya dimulai dengan kata-kata " hatta, syahdan, arkian, alkisah, atau sebermula, dan sangat kental dengan pengaruh islam.

Sastra lisan adalah bagian dari tradisi yang berkembang-kembang di tengah rakyat jelata yang menggunakan bahasa sebagai media utama,. sastra lisan ini lebih dulu muncul dan berkembang di masyarakat daripada sastra tulis. dalam kehidupan sehari-hari, jenis sastra ini biasanya dituturkan oleh seorang ibu kepada anaknya, seorang tukang cerita kepada pendengarnya, guru kepada muridnya, atau antar sesama masyarakatnya. untuk menjaga kelestarian sastra lisan ini warga masyarakat mewariskannya secara turun temurun dari generasi ke generasi. sastra lisan sering juga disebut sastra rakyat, karena muncul dan berkembang di tengah kehidupan masyarakat biasa. sastra lisan ini dituturkan, didengarkan dan dihayati secara bersama-sama pada peristiwa tertentu. dengan maksud dan tujuan tertentu pula. peristiwa tersebut antara lain berkaitan dengan upacara perkawinan, upacara menanam dan menuai padi, kelahiran bayi, dan upacara yang bertujuan magis.

Sastra lisan sangat digemari oleh masyarakat dan biasanya didengarkan bersama-sama karena mengandung gagasan, pikiran, ajaran dan harapan masyarakat. suasana kebersamaan masyarakat yang dihasilakn dari sastra lisan berdampak positis pada menguatnya ikatan batin di antara masyarakat. dalam konteks ini bisa dilihat bahwa sastra lisan juga memiliki fungsi sosial, disamping fungsi individual. dengan demikian bisa dikatakan bahwa memudarnya tradisi sastra lisan di masyarakat merupakan salah satu indikasi telah memudarnya ikatan sosial di antara mereka dan sebaliknya.

Di antara jenis sastra lisan tersebut adalah pantun, peribahasa, nyanyi panjang, dodoi, koba, surat kapal, dll. gurindam, dongeng, legenda, dan syair pada awalnya juga merupakan bagian dari tradisi lisan. namun perkembangannya mengalami perubahan ketika jenis sastra ini menjadi bagian dari kehidupan istana-istana melayuyang telah terbiasa dengan tradisi tulis. sehingga gurindam, dongeng, syair berkembang menjadi bagian dari tradisi tulis. tampaknya, ini adalah bagian dari wujud interaksi positif antara sastra lisan dan tulisan.

Jenis-jenis sastra Melayu Klasik  Riau

1.     Prosa lama
        Prosa lama adalah bentuk karya sastra yang belum dipengaruhi oleh kebudayaan barat. Prosa lama berbentuk tulisan karena pada jamannya belum ditemukan alat untuk menulis. Namun, saat ini kita sudah bisa menemukan karya sastra prosa lama dalam bentuk tulisan. Dahulu kala, prosa lama diceritakan dari mulut ke mulut. Dalam prosa lama, tulisan-tulisannya memiliki karakteristik seperti cerita istana sentris, sifatnya menghibur masayarakat, tidak menggunakan struktur kalimat, dan bersifat kedaerahan. Berikut ini adalah bentuk-bentuk prosa lama, antara lain  :

1.   Hikayat

Hikayat adalah cerita yang sumbernya berasal dari kisah-kisah kehidupan raja, dewa-dewa, pangeran, orang sakti mandraguna, dll. umumnya menceritakan tentang kehebatan maupun kepahlawanan seseorang lengkap dengan keanehan , kesaktian, tokoh utamanya. misalnya hikayat Hang Tuah, Hikayat Siak, Hikayat Negeri Riau

2.   Dongeng

Dongeng merupakan bentuk sastra lama yang bercerita tentang suatu kejadian yang luar biasa yang penuh khayalan (fiksi) yang dianggap oleh masyarakat suatu hal yang tidak benar-benar terjadi. Dongeng merupakan bentuk cerita tradisional atau cerita yang disampaikan secara turun-temurun dari nenek moyang. Dongeng berfungsi untuk menyampaikan ajaran moral (mendidik), dan juga menghibur

Jenis-jenis dongeng  :
a. Fabel, adalah suatu cerita atau dongeng yang pelakunya binatang yang berprilaku seperti manusia
b. Legenda, adalah cerita yang dikaitkan dengan kepercayaan suatu daerah tentang asal muasal           terjadinya sesuatu
c. Mite, adalah cerita yang mempunyai latar belakang sejara, dipercayai oleh masyarakat sebagai cerita yang benar-benar terjadi, dianggap suci, banyak mengandung hal-hal yang ajaib, 
d. Sage, adalah cerita yang mengandung sejarah tapi tidak terlepas dari fantasi dan imajinasi agar menarik

3.   Cerita Jenaka

     
Cerita jenaka merupakan bagian cerita rakyat yang berunsur jenaka atau lucu yang dapat membangkitkan tawa. Bahan ceritanya didasarkan pada kehidupan masyarakat sehari-hari. Alur ceritanya berpusat pada kelakuan pelaku. Contoh cerita jenaka yang berkemabang dalam masyarakat Indonesia seperti Cerita Pak Pandir, Yong Dolah, dll

Fungsi Cerita jenaka

Berikut ini merupakan fungsi dari cerita jenaka.
  1. Memberikan hiburan.
  2. Mengkritik Anggota masyarakat.
  3. Memberikan pendidikan

Peralatan Nelayan Melayu Riau

    Jala Terbuat dari jaring yang diberi pemberat. cara menggunakan dengan cara ditebarkan ke dalam air dan dibiarkan beberap...